Betapa menyayat hati ketika telah menamatkan
buku kisah “Ainun dan Habibie” atau menonton filmnya. Mungkin kebanyakan anda
lebih tertarik dan tersentuh dengan kisah romantis kesetiaan sepasang suami
istri, namun justru yang saya rasakan di sepanjang alur tulisan dalam buku dan
film, adalah sebuah konflik nyata karya anak bangsa tak dihargai pemerintahnya.
Saya masih teringat cuplikan adegan di film
tersebut. Tentunya kita semua yang masih mencintai negeri ini tentu merasa
sedih, pilu, dan terpukul ketika menyaksikan Habibie ditemani Ainun masuk ke
dalam hanggar pesawat di PTDI, menyaksikan pesawat CN235. Karya anak bangsa
yang diperjuangkan dengan jiwa dan raga, teronggok bagai besi tua. Tiada yang
berteriak membela, tiada yang peduli. Semua bungkam masa bodoh. Sambil memegang
tangan Ainun, Habibie berkata: “Maafkan aku untuk waktu-waktu mu dan anak-anak
yang telah kuambil demi cita-cita ini”.
diambil dari: http://www.youthmanual.com/ |
Menjadi seperti Habibie, bukan untuk menjadi
intelektual seperti Beliau, namun untuk memiliki cinta murni yang sama, yaitu
Cinta pada potensi unik pribadi kita, Cinta pada Bangsa ini, Cinta pada Alam Indonesia,
Cinta pada Keluarga, Cinta pada Allah Swt, Cinta pada semua karunia yang ada
lalu kemudian memadukannya dalam Perjuangan di Jalan Allah untuk membebaskan
bangsa dan manusia demi Peradaban yang lebih adil dan damai. Habibie
menyebutnya keterpaduan ini dengan Manunggal.
Habibie berkata:
”Manunggal adalah ”Compatible” atau
kesesuaian, Karena dalam cinta sejati terdapat empat elemen berupa, Cinta yang
mumi, cinta yang suci, cinta yang sejati dan cinta yang sempurna.
Ketika kita meluangkan waktu untuk membaca
biografi beliau. Kita bisa menyimpulkan bahawa beliau adalah sosok Habibie yang
menjelma menjadi idola dan simbol sosok intelektual nan shalih, pada paruh
tahun 80an akhir. Seorang intelektual yang mumpuni diakui dunia barat, yang
secara material sudah kaya karena royalti dari rancangan sayap pesawat terbang
yang terus mengalir seumur hidup, dan digambarkan sebagai sosok yang taat dan
rajin beribadah, bahkan tidak pernah meninggalkan puasa sunnah hari Senin dan
Kamis.
Sosok hadirnya memunculkan jargon “mencetak
cendekiawan yang berotak Jerman dan berhati Mekkah”. Bagi banyak sekolah dan
lembaga pendidikan Islam efeknya adalah lahirlah konsep-konsep pendidikan Islam
yang berupaya memadukan kedua sisi itu dengan nama “IMTAQ dan IPTEK”, dengan
ciri khas bergedung hebat, berorientasi mecusuar dan elitis alias terpisah dari
masyarakatnya, sebagaimana pusat menara gading para intelektual. Dan disini
baiknya kita pun bersepakat bahwa beliau adalah sosok Ulil Albab, menjadi makna
menyempit “seorang cendekiawan pandai yang memiliki kesalihan personal”.
Teringat sebuah pepatah keren bahwa Bangsa
yang hebat adalah bangsa yang senantiasa menghargai karya dan perjuangan
pahlawannya. Terima kasih Eyang Habibie, engkau adalah pahlawan intelektual
bangsa Indonesia. Inilah salah satu bentuk kecintaan pada NKRI.
Semoga kita senantiasa meneladani kepribadian,
kehebatan karya beliau, dan konsep cinta manunggal yang beliau utarakan. Save
NKRI dengan karya hebat kita. Terima kasih.
Muntilan
Jum’at, 16 Desember 2016
Endah Octa Sejati
0 komentar:
Posting Komentar