Jaka Tarub dan Bidadari Kekinian

#JTdBK
#Part_2
#Perkenalan

Sudah bosan berkeliling, ku putuskan untuk kembali ke kebun mas Ali. Tak disangka, gazebo tak hanya ada mas Ali dan mbak Minah, ternyata ada sosok setinggi 178 cm yang barusan ku temui. Aku bergabung tanpa berkata sepatah kata apapun.


“Eh mbak Khana datang. Sini mbak ada anggota baru nih.” Mbak Minah terkekeh sambil menggoda pria asing itu. “Mas kenalan dulu nih sama cewek kota.”
“Rendra.”
“Khana.”
“Oh iya mumpung si Endra bawa motor. Nanti keliling desanya minta anterin dia aja ya mbak. Hehehe.” Kekeh mbak Minah.
“Inggih Ndra. Tulung nggih. Kulo sami Minah kersa kesah datheng kotha sekedhap.” Sambung Mas Ali.

Rendra menggangguk dan kuikuti. Aku dibonceng untuk melanjutkan menikmati alam desa tempat rantauanku ini. Sepanjang perjalanan kami hanya diam.
***

Senin pukul 07.00 aku sudah berada di kantor desa. Semalam sudah datang tiga orang kawan yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan dan dua orang lainnya tenaga pendidik. Pagi ini aku berkenalan dengan dokter Hanafiah dan Latifah, seorang lagi perawat bernama Mesya. Mereka masih membawa koper, tas sport jinjing beserta tas ransel. Kami bertujuh adalah anggota tenaga kesehatan dan pendidik yang berasal dari kota.

Pagi ini kami disambut secara resmi serta dibriefing untuk melaksanakan jadwal dan tugas secara amanah dengan tujuan memajukan kualitas kesehatan dan pendidikan di desa ini. Kami saling berbaur agar lebih akrab dan mencoba berdiskusi untuk kelancarakan misi kami disini.
***

Pagi ini aku bertugas bersama Stella keliling desa untuk berkenalan dan mengajak warga desa untuk berobat di puskemas dekat kantor desa. Hari ini yang berjaga adalah dokter Hanafiah dan Latifah dibantu Mesya. Selain itu Zetha dan Rihana  agendanya juga berkeliling untuk berkenalan dengan para pengajar yang tersebar di sekolah desa serta ingin melihat suasana sekitar.

Hari ini tidak terlalu sibuk namun cukup melelahkan. Aku dan Stella yang harus berkeliling desa dengan berjalan kaki serta Zetha dan Rihana melakukan hal yang sama. Itupun belum semua lingkungan dan sekolah yang tersebar di desa mampu kami kunjungi. Hanafiah, Latifah serta Mesya yang berjaga di puskesmas juga lelah, lelah menunggu karena tak ada satu pasien pun yang datang. Kami berharap tidak ada pasien berarti warga desa sini sehat semua. Pukul 16.00 kami memutuskan pulang ke rumah.
***

Pagi ini aku masih memeluk guling dan berselimut.
“Tumben si dokter masih nempel aja sama kasur.” Sapa Mbak Minah sambil memasang kerudung di depan cermin.
Aku hanya diam.
“Mbak.” Ucap Mbak Minah lalu membalik tubuhnya memperhatikanku.

Mbak Minah mendekati dan diletakkan telapak tangannya ke dahi dan leher untuk merasai suhu tubuhku. Nampaknya tubuhku mengalami kekagetan musim pancaroba. Baru seminggu aku jatuh sakit.

“Yang kuat ya tubuh. Berkenalanlah secara perlahan.” Kataku dalam hati.
Secara gesit mbak Minah mengolesi minyak angin ke punggung, leher serta punggung leher sambil dipijatinya. Sepuluh menit kemudian badanku sudah baikan.
“Mbak Minah, makasih banyak ya.” Kataku.
Dibalas dengan senyum manis Mbak Minah. “Yaudah aku berangkat duluan ya.”

Aku segera beberes kamar dan tubuh, lalu siap-siap untuk beraktifitas dan menyusul ke puskesmas untuk bekerja bukan berobat.
***

0 komentar:

Posting Komentar